Rabu, 26 Agustus 2009

Fatwa Haram MUI terhadap Pengemis

Belum lama ini MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya pengemis. Hal ini mengundang polemik yang cukup beragam. Pro dan Kontra dalam suatu keputusan adalah wajar.

Adapun salah satu alasan dengan keluarnya fatwa MUI seperti yang di kutip dari detik.com "MUI Sumenep mengelurakan fatwa haram mengemis. alasan dikeluarkannya fatwa tersebut dengan alasan mengemis akan menjadikan diri hina dan merugikan orang lain. Islam sendiri dikatakan sudah secara tegas melarang kegiatan mengemis karena termasuk bermalas-malasan".

Secara logika apa yang dikatakan oleh MUI tersebut adalah benar, karena kita repot di jalanan yang sedang macet, tiba-tiba datang rombongan pengemis dari segala usia berlomba-lomba menyodorkan tangannya untuk memohon belas iba. Jalanan bertambah kusut karena di setiap perempatan jalanan lebih dari 10 orang pengemis, yang menkais-kais kedermaan pengguna jalan.

Gubernur DKI Fauzi Bowo berujar "..Gepeng bukanlah masalah tentang menolong masyarakat kecil karena itu perbuatan mulia, tetapi perbuatan membenarkan eksploitasi manusia bukanlah perbuatan yang baik.
"Yang dapat banyak keuntungan yaitu koordinatornya atau yang memanfaatkan gepeng, padahal gepeng itu dapat sedikit," kata dia.

Dalam data statistik kependudukan, statistik penduduk miskin di Jakarta cenderung menurun. Hal ini yang membuktikan gepeng bukan berasal dari wilayah Jakarta.

"Jadi kalau ada orang miskin pasti kirimanlah dan kita tidak ingin ada kegiatan eksploitasi manusia yang tinggi terutama menjelang dan saat bulan suci Ramadan ini," tegasnya.

Masalah pengemis tidak sesimpel yang dibayangkan, karena ada kordinator para pengemis, dan kordinator pengemis tersebut lah yang seharusnya diperangi. Tapi apa pernah mereka diperangi, tidak juga, ... mungkin ada sesuatu, kita tidak tahu.
Terus apa bedanya pengemis dengan para pengelap kaca, pengamen jalanan dan para peminta pembangunan Mushola atau Mesjid yang dengan berbagai cara, seperti kotak yang dibawa, atau meletakan barikade tertentu untuk prakteknya.
Kalau masalah kita mau beramal kan tidak harus kepada pengemis. Banyak lembaga yang siap menyalurkan ZIS, dan Insya Allah tepat sasaran.


Kontorvesi yang lainnyanya adalah "Fakir Miskin dan anak-anak terlantar dipelihara Negara" seusai dengan UUD 45 yang bolak-balik diubah oleh segerombolan orang di DPR.
Apakah mereka masuk dalam kelompok itu, kalo dilihat dari pola mereka jelas tidak termasuk kriteria ini, karena mereka di komando oleh para kordinator, jelas mereka tidak terlantar.

Dan kalo dari segi agama pun sebenarnya mereka tidak masuk kiteria tersebut di atas, karena alasan yang sama di atas.
Maka atas dasar ini lah menurut hemat saya MUI mengeluarkan fatwa haram.

Rabu, 05 Agustus 2009

Rambu Lalu Lintas Hanyalah Sebuah Hiasan Belaka

Perilaku pengendara di Jakarta sungguh luar binasa. Membuat peraturan seenaknya saja, tidak memperdulikan pengendara yang lain yang sama-sama menggunakan jalan raya.
Sering kita jumpai di Lampu Merah, pengendara tidak mengindahkan rambu tersebut. Tidak perduli dengan warna apa yang sedang menyala, terobos sana, sodok sini, sikat situ, hantam kromo saja seenak hatinya.
Lampu Merah kendaraan pada jalan seenaknya saja, ini adalah perilaku pengendara kendaraan pribadi.
Lampu Hijau kendaraan berhenti pastinya ini adalah perilaku pengendara kendaraan umum.
Traffic Light hanyalah simbul saja, tanpa di pahami arti sebenarnya.
Belum lagi terhadap rambu lainnya, Dilarang berhenti malah parkir. Di larang Parkir malah kendaraan mengetem sepanjang hari. Dilarang masuk/berbelok masih juga belok. Jalan dua arah diterjang juga melawan arah, yang penting sampai, itu pikir si pengendara.
Di jalan tol juga sering dilihat "Bahu Jalan untuk Darurat", tetap saja banyak yang melewati, walaupun tidak dalam keadaan darurat.
Pertanyaan yang timbul " Sudah sedemikan parahkah perilaku pengendara di Jakarta ?", hanya pada diri kita sendirilah kita bertanya dan menjawab. Karena jika pertanyaan tersebut ditanyakan ke pengendara yang lain, pasti jawabannya "Tidak".

Berbagai jawaban pasti timbul yang mematahkan asumsi di atas. Ada yang berkata, "Ah lampu merahnya aja nggak adil, terlalu lama pembagian hijau dan merahnya".
"Masa untuk kesitu aja harus memutar sejauh ini", " Terlalu macet di sebelah kanan, enakan lewat bahu jalan aja yang nggak macet", jawaban lainnya, dan masih banyak alasan dan jawaban untuk mematahkan pertanyaan tersebut.

Jadi sebenarnya siapa yang salah dengan kondisi tersebut, pengendara akan tertib kalo ada pak polantas yang memelototi pengendara satu persatu, dengan senjata pulpen dan surat tilang itulah momok yang ditakuti oleh pengendara.
Akankah semua itu berlangsung terus, dan kapan kesadaran dari kita akan muncul.
Ingat hasil survey menyebutkan " Senjata pembunuh massal itu adalah alat transportasi, dan paling banyak memakan korban adalah kendaraan roda dua karena minim alat pengaman, dan kesadaran yang tipis dari para pengendara ".

Sungguh sangat disayangkan jika berlanjut terus, nyawa hilang sia-sia di jalan raya.

Dan jangan sampai ada ungkapan bahwa " Para pengendara kendaraan bermotor di jakarta adalah buta huruf dan buta warna ", karena tidak bisa membaca rambu lalu lintas dan tidak bisa membedakan warna traffic light.








Be a Ranger